Cerita Pendek

Cerita 100cm


Info Tentang Cerpen

Judul: Realitas yang Tak Nyata

Penulis: Muqawwim Alhaq

Tanggal terbit: 5 Mei 2020

Instagram: @aalalhaq


Realitas yang Tak Nyata

    Kutaruh dua cangkir kopi hangat di atas meja kayu secara perlahan. Memainkan jari jemari berirama dengan wajah sedikit gelisah. Sesekali kulirik keadaan sekitar dari pojok ruangan tempat aku berdiam. Terang lampu pijar yang khas berpadu bersama langit-langit  penuh hiasan klasik. Udara sejuk menenangkan meski tanpa alat pendingin terpampang di tembok batu bata. Persis di samping markas barista meramu mahakaryanya. Menunggu akan kehadiran adik kecilku.

    Tak ada sesuatu yang istimewa di balik pintu transparan ini ketika aku membukanya. Layaknya tempat-tempat lain yang sering kudatangi. Begitu pun menu yang tertera di layar. Sedikit, atau bahkan tak ada yang dapat dibanggakan. Terserempak perhatianku terkunci kepada seseorang. Gadis sipit berkulit putih dengan tega mengambil alih kedua mataku. Kuperhatikan ia menyendiri di pojok ruangan tanpa ada satu pun pesanan yang terlihat di atas meja. Kuurungkan kembali pernyataan yang kubuat sebelumnya. Kuhampirinya sembari membawa dua cangkir kopi hangat. Berdiri mematung tepat disampingnya sebagai isyarat permintaan untuk duduk bersama. Ia memusatkan pandangannya ke arahku sambil melontarkan senyuman manis seolah menerima. Memang tak ada yang istimewa dari pertemuan perdana kami. Tak banyak cakap sekalipun tatap.

    Sama seperti hari sebelumnya, kudapati kembali gadis itu menyendiri dengan keadaan yang tak berbeda. Di pojok ruangan tanpa ada satu pun pesanan yang mengisi ruang kosong permukaan meja. Tertangkap basah diriku sedang mengamatinya. Ia kembali melayangkan senyuman manis seakan mengajakku duduk bersamanya. Kudatangi tempat itu dengan wajah palsu menutupi rasa berseri seraya membawa dua cangkir kopi hangat. Gadis itu mempersilakanku duduk dan dengan segera membuka obrolan. Aku sedikit terkejut. Pandanganku berbalik terhadapnya. Tak sama seperti kemarin yang hanya bicara ketika aku bertanya.

    Seiring waktu berlalu, tanpa kusadari tempat itu yang selalu kutuju. Lebih tepatnya Orang asing yang kini menjelma menjadi sosok teman akrab. Gadis yang selalu terngiang-ngiang keras di kepalaku. Kapan pun aku melihat di balik pintu itu, ia selalu tampak di tempat favorit kami bersama kebiasaan anehnya. Tak pernah sekali pun aku menyambangi tempat tersebut tanpa kehadirannya. Aku berpikir gadis itu memang sengaja menunggu hanya untuk bertemu denganku.

    Sudah menjadi kebiasaanku juga untuk membawa dua cangkir kopi hangat sebelum perbincangan kami dimulai. Meskipun ia tak pernah meminta, entah mengapa aku selalu melakukannya. Ternyata tidak hanya gadis itu yang memiliki kebiasaan aneh. Jujur saja kukatakan, hanya dengan melihatnya, beban yang kugotong merosot secara perlahan. Apalagi bercakap-cakap bersamanya, lepas sudah semua persoalan hari itu. Senyumnya sama sekali tak menunjukkan adanya kepalsuan yang dibuat, murni tanpa noda. Begitu pula halus tutur katanya.

    Tak jarang orang-orang memandangi kami saat kami bersua. Mungkin mereka semua iri akan kedekatanku bersama gadis itu. Tak mustahil juga mereka memang merasa terganggu. Kadang kala kami terlalu berisik dalam bersenda gurau, tapi aku enggan  memedulikan hal itu. Jika diingat-ingat, aku tak pernah merasa selepas ini untuk berbicara kepada seseorang, bahkan kepada teman-temanku. Maksudku, teman yang benar teman bagiku. Hanya mendiang adikku satu-satunya yang dapat melakukannya. Maka tak salah jika gadis itu kuanggap seperti adik kecilku.

    Dua cangkir kopi di hadapanku mendingin utuh tak tersentuh. Entah sudah berapa lama diriku terhanyut sendu dalam pikiran yang beradu. Jari jemariku letih untuk kembali berirama. Markas barista telah terlihat kosong tanpa ramuan-ramuannya. Ramai pengunjung sudah tak lagi terlihat. Gadis itu belum juga menunjukkan sedikit pun mata sipitnya. Ini terasa aneh bagiku. Benar-benar tak berjalan seperti yang seharusnya. Sudah beberapa kali aku dibuat menunggu olehnya. Sudah beberapa kali juga ia tak mengindahkannya.

    Akhir-akhir ini aku memang jarang menemuinya. Bukan karena aku sudah bosan atau menghindarinya, tapi karena belakangan ini aku rutin pergi ke rumah sakit. Aku tak percaya ia pergi meninggalkanku begitu saja. Mungkin dari awal ia memang tidak senang kepadaku. Bisa jadi ia menunggu seseorang selain diriku. Jika memang ia menyukaiku, tidak bisakah ia menunjukkannya dengan meminum kopi hangat yang sengaja kubelikan untuknya, meski hanya sekali saja.